aku
seperti berpikir dengan otak tak berisi memberangus kala letih pada mata yang mengabur intim dengan gelembung nanah menghitam bersama doadoa membusuk ketir_tertunduk pada nisan abu nan amis. kepakan diberanda menarik ditiduri oleh siang. hati tak lagi murni dan aku masih meraguj dalam syahdu_adakalanya nyanyian candu memberi apa yang kita tidak sangka, tak ada yang tahu ending masingmasing. aku terbangun karena gigitan kepinding_aku masih perlu menangis_aku butuh bahasa paling sedih_aku mencari tempat paling gelap_aku tak ingin tuhan cemberut_aku ingin tuhan tersenyum kala aku berkata.
pada
pada cangkir jingga ini aku pernah terlena. arungi segala asa yang mensyaratkan untuk bisa diakui. berpamrih! tanpa hijab, tanpa alaskaki, tanpa pandita, tanpa persembahan, tanpa dalil, tanpa aturan, tanpa pengorbanan, tanpa sakit, tanpamu....
pada tangga lapuk ini pernah kupijakkan satu langkah dalam ketidakpuasan. jiwa yang ragu. menyatu keringat yang menganak sungai. berderit, memerah, berlari, meredam lalu. lebih baik terjun dalam pesona kentut yang melaut. seperti laut penuh inspirasi. begitu juga kau.
pada malam ini kutitipkan cemas yang menggigil. sembunyi pada ketiak malam, lalu mengintip dengan rasa waswas dan cemas.
pada saat ini aku benarbenar merasa khawatir akan apapun. tak terkecuali kau.
selamat menjadi...
dongeng sebelum mati
aku butuh dukungan, doa dan serapah. aku perlu keajaiban yang menjelma dengan sayap dihiasi senyum getir tersembunyi. nyaris hilang.
jangan dendam dijadikan doa! tekan serapah membuncah. pilihan antara terus mencari dan berhenti sama sekali merupakan hal yang dilematis. tak ada ujung. tak pernah puas.
irama selalu menyertai dalam setiap langkah, dalam tiap detik. deg-deg, deg-deg, deg-deg... terus mengalun berirama. desah, terus mendesah. jangan resah jika tak ingin tambah parah.
tak selamanya ritual kedewasaan itu maha radikal. pertikaian juga kadang memberikan kontribusi kedewasaan. tak selalu radikal, hanya sedikit perih. tapi nikmat!
nikmatilah. matilah.
matilah dengan segala yang kau temui.
demi
demi darah dan airmata. jangan pernah mempermainkan kehidupan, tapi kita memainkan peran dalam kehidupan.
demi langit dan bumi. harus sebesar apa kita menjadi, kalau tanpa memaknai hidup. hidup bukan poleng atau yin-yang atau papan catur
demi anjing tanah. segala hal bisa dijadikan analogo, ilustrasi, cerminan, ibarat.... laut, sandal jepit, udara, matahari, karang bahkan tai. kita dapat, boleh dan mesti bercermin pada mereka.
demi dengki dan caci maki. banyak dari kita berperan layaknya kita pembenar, pembebas, idola, selebriti, kadal bau, musuh, bunglon, tuhan, patung, sambal, klip, nabi....
demi ibuku. tak bisakah kalian lebih peka terhadap hidup kalian?
demi kotoran. karena itu juga cerminan. tenang, terayun dan tak jarang hancur, tapi dengan tujuan pasti; samudera luas. ahkir segala akhir.
demi aku. jadilah kalian musuhku, sobat. buat aku menangis. lakukanlah. doa, haru dan syukurku tak akan lekang oleh masa.
pelajaran hidup
siapa yang mau, coba, menanggung perasaan tanggung tak bertuan dan hati yang sedikit asing. ketika harapan hanya sebagai asa dan bayangan mimpi buruk terus bergelayut. terlambat lidah 'tuk berucap kepedihan; sesal.
dan kata itu memang percuma.
kupalingkan perhatian pada sebuah hati yang mulai membeku dimana segala yang ada didalamnya sudah mengeras. sakit, senang, marah, aneh, merah, biru, seribu, hitam, seratus, bernyanyi, masalalu... semua ada disana. menyatu dalam tanya.
hanya api cinta yang mampu mencairkannya dari benci dan cinta yang hanya dibatasi satu per sejuta rambut. tipis.
lagilagi sarapan pagiku tak jadi, karena kekenyangan oleh ocehan bebal sok tahu tentang kehidupan; pemimpi!
"harusnya kau bercemin pada sandal yang kau pakai, tak usah susah", katamu.
kutunggu saat penting lagi untuk bisa berbisik ditelingamu: "alaskaki memang asyik!"