#..karena hidup adalah untuk di tertawakan, kawan.
Beberapa hari ini Kana begitu telaten mengajari kami, orang tuanya. Banyak maunya dan tak luput di akhiri dengan nangis bombay yang bikin pedih hati siapapun yang mendengar dan melihatnya. Bagaimana tidak, ditanya apapun, selalu jawabannya adalah tangisan yang semakin mengeras. Sebuah bahasa yang memang aduhai kompleks nan mistis.
Dalam seminggu, barangkali ada 3 ato 4 hari, tiap hendak menuju tidur ia nangis seperti itu. Bisa nyampai 1 jam lebih. Setelah itu, ia hanya bisa nyusu di dada ibunya sambil sesekali sesenggukan. Suaranya parau.
Dan sekarang, ia sedang berdoa panjang sambil di dongengi ini-itu bersama ibunya.
....
Saya, untuk sementara waktu terpekur. Mengingat dengan segala daya ingatan tentang bagaimana saya ketika berumur seperti Kana. Membayangkan bagaimana orang tua saya juga mengalami perasaan mistis dan agung seperti yang saya dan istri saya alami sekarang. Perasaan tentang keentahan. Antara kasihan, sayang, jengkel, cinta, kalut, tagiwur, waas...
Ternyata hanya tawa kecil yang muncul. Tanpa suara. Bahkan tanpa sungging. Tertawa yang entah juga tentang ekspresi apa. Menertawakan saya yang lucu nan menggemasakan tapi juga menyulitkan orang tua, ato malah tertawa kecut karena mangalami juga hal seperti ini karena menjadi orang tua.
Percayalah, kejadian sepahit apapun, jika dikenang sekarang, hampir dipastikan kita mengenangnya dengan tawa.
....
Ada yang semena-mena nylonong dalam pikiran saya. Tentang teman-teman dulu semasa di pesantren. Masa dimana tak ada sedikit pun terpikirkan bagaimana kami sempat bayi dan imut. Ato membayangkan bagaimana kami akan menjadi orang tua. Masa itu adalah masa hebat. Masa dimana segala ekspresi bisa tumpah ruah. Segala berani yang mengesampingkan resiko, meski tak jarang juga menjadi masa kelam yang ‘cukup masa itu saja mengalami’.
Beberapa berkelebat dengan anak dan pasangannya. Sebagian lagi berekspresi seperti perpaduan antara tertawa dan terpekur; melajang. Si pintar yang kadang malas ato jorok, sekarang sudah 2 anak dengan pekerjaan yang sangat disayangkan kepintarannya. Si gaya yang sebetulnya penakut, masih asik dengan dunia gayanya. Si nakal yang kreatif, sudah beristri dan menjadi orang yang di pandang sangat arif di lingkungannya. Si bodoh yang dermawan, sudah mengendarai mobil mewah dan mempunyai keturunan yang cantik. Si ganteng yang ‘kolektor’, masih saja betah dengan status menyendirinya tapi tanpa hubungan khusus yang sudah cukup lama.
Dan lagi-lagi, saya menyungging untuk ekspresi entah. Ada rindu, tentang bagaimana suatu masa yang sedemikian menyita pikiran. Ada kecut juga sesal, tentang bagaimana suatu masa yang menyita pikiran tapi tidak begitu termaksimalkan.
Saya membayangkan berkumpul kembali. Membuat ‘sesuatu’ demi ikatan kami dan keturunan kami kelak. Berbagi tanpa perlu pretensi tentang bagaimana ketir hidup di lalui. Berbagi, berbagi dan berbagi. Bertekad supaya anak keturunan kami tak ada seorang pun yang gamang menghadapi hari depannya. Bertekad siapapun di antara kami yang kesusahan, kami ada (meski sebagai second line) untuk bisa membantu dan menghibur. Bukan melulu materi, tapi juga spirit.
Dan lagi-lagi, saya tersenyum untuk lamunan ini.
...
Kana sudah tidur. Ibunya juga. Keduanya tampak kelelahan. Kana masih sesenggukan meski matanya begitu rapat, sedangkan ibunya tergolek tanpa gerak dengan sedikit suara dengkur yang lirih. Indah dan haru.
Saya menutup pintu kamar, membuka sedikit pintu rumah, lalu menyalakan rokok. Berharap ada yang nylonong lagi. Tapi tiap hisap dan hembus yang aku lalui, semua hanya sungging kecil. Saya hanya bisa tersenyum di bibir dan tertawa di hati.
Bandung, desember 2011
Beberapa hari ini Kana begitu telaten mengajari kami, orang tuanya. Banyak maunya dan tak luput di akhiri dengan nangis bombay yang bikin pedih hati siapapun yang mendengar dan melihatnya. Bagaimana tidak, ditanya apapun, selalu jawabannya adalah tangisan yang semakin mengeras. Sebuah bahasa yang memang aduhai kompleks nan mistis.
Dalam seminggu, barangkali ada 3 ato 4 hari, tiap hendak menuju tidur ia nangis seperti itu. Bisa nyampai 1 jam lebih. Setelah itu, ia hanya bisa nyusu di dada ibunya sambil sesekali sesenggukan. Suaranya parau.
Dan sekarang, ia sedang berdoa panjang sambil di dongengi ini-itu bersama ibunya.
....
Saya, untuk sementara waktu terpekur. Mengingat dengan segala daya ingatan tentang bagaimana saya ketika berumur seperti Kana. Membayangkan bagaimana orang tua saya juga mengalami perasaan mistis dan agung seperti yang saya dan istri saya alami sekarang. Perasaan tentang keentahan. Antara kasihan, sayang, jengkel, cinta, kalut, tagiwur, waas...
Ternyata hanya tawa kecil yang muncul. Tanpa suara. Bahkan tanpa sungging. Tertawa yang entah juga tentang ekspresi apa. Menertawakan saya yang lucu nan menggemasakan tapi juga menyulitkan orang tua, ato malah tertawa kecut karena mangalami juga hal seperti ini karena menjadi orang tua.
Percayalah, kejadian sepahit apapun, jika dikenang sekarang, hampir dipastikan kita mengenangnya dengan tawa.
....
Ada yang semena-mena nylonong dalam pikiran saya. Tentang teman-teman dulu semasa di pesantren. Masa dimana tak ada sedikit pun terpikirkan bagaimana kami sempat bayi dan imut. Ato membayangkan bagaimana kami akan menjadi orang tua. Masa itu adalah masa hebat. Masa dimana segala ekspresi bisa tumpah ruah. Segala berani yang mengesampingkan resiko, meski tak jarang juga menjadi masa kelam yang ‘cukup masa itu saja mengalami’.
Beberapa berkelebat dengan anak dan pasangannya. Sebagian lagi berekspresi seperti perpaduan antara tertawa dan terpekur; melajang. Si pintar yang kadang malas ato jorok, sekarang sudah 2 anak dengan pekerjaan yang sangat disayangkan kepintarannya. Si gaya yang sebetulnya penakut, masih asik dengan dunia gayanya. Si nakal yang kreatif, sudah beristri dan menjadi orang yang di pandang sangat arif di lingkungannya. Si bodoh yang dermawan, sudah mengendarai mobil mewah dan mempunyai keturunan yang cantik. Si ganteng yang ‘kolektor’, masih saja betah dengan status menyendirinya tapi tanpa hubungan khusus yang sudah cukup lama.
Dan lagi-lagi, saya menyungging untuk ekspresi entah. Ada rindu, tentang bagaimana suatu masa yang sedemikian menyita pikiran. Ada kecut juga sesal, tentang bagaimana suatu masa yang menyita pikiran tapi tidak begitu termaksimalkan.
Saya membayangkan berkumpul kembali. Membuat ‘sesuatu’ demi ikatan kami dan keturunan kami kelak. Berbagi tanpa perlu pretensi tentang bagaimana ketir hidup di lalui. Berbagi, berbagi dan berbagi. Bertekad supaya anak keturunan kami tak ada seorang pun yang gamang menghadapi hari depannya. Bertekad siapapun di antara kami yang kesusahan, kami ada (meski sebagai second line) untuk bisa membantu dan menghibur. Bukan melulu materi, tapi juga spirit.
Dan lagi-lagi, saya tersenyum untuk lamunan ini.
...
Kana sudah tidur. Ibunya juga. Keduanya tampak kelelahan. Kana masih sesenggukan meski matanya begitu rapat, sedangkan ibunya tergolek tanpa gerak dengan sedikit suara dengkur yang lirih. Indah dan haru.
Saya menutup pintu kamar, membuka sedikit pintu rumah, lalu menyalakan rokok. Berharap ada yang nylonong lagi. Tapi tiap hisap dan hembus yang aku lalui, semua hanya sungging kecil. Saya hanya bisa tersenyum di bibir dan tertawa di hati.
Bandung, desember 2011