Hai.
Tak perlu lah mengucapkan apa kabar untuk memulai tulisan ini. Cukup sapaan ‘hai’ riang yang aku sajikan. Toh itu lebih kedengaran tulus dari pada ucapan ‘kamu apa kabar?’ yang terkesan formalitas dan basi. Karena aku pribadi lebih sering tak peduli dan kurang empati apabila mendengar jawaban dari ucapan itu. Mending kalo memang jawabannya jujur. Toh, kebanyakan munafik juga. Makanya, stop bikin orang tergiur untuk berbuat dosa yang tidak terasa demi sopan santun.
Ada yang lagi rame sekarang. Di sini. Banyak sekali malah. Dari mulai banner pembuah kotor kota, motor yang makin banyak dan murah, anak kecil yang makin pintar, teknologi yang kian canggih dan sekian banyak kehebohan lain yang dulu tak pernah diprediksi sebelumnya. Selain kemudahan yang didapat, efek yang ditimbulkannya juga tak sedikit; kemunduran moral, matang sebelum waktunya, eksistensi yang penting. Bukan esensi.
Tapi sudahlah, aku tak mau banyak membahas masalah itu. Aku hanya ingin menuangkan saja bebagai ki(e)sah padamu saat ini. Tentangku yang bisa jadi berkaitan juga dengan segala macam yang kusebutkan diatas.
Jika dihitung dengan ukuran waktu, mungkin telah ratusan hari aku kehilanganmu. Bertahun kita seperti terpisah. Jika pun bertemu hanya sebatas basa-basi, atau malah berekspektasi. Tanpa pernah bisa tahu kenapa itu terjadi. Dan memang cenderung tidak berusaha untuk mencari tahu.
Tapi sekarang, aku kembali lagi bersua denganmu. Menjejali telingamu dengan berupa suara.
Akan sangat sulit menceritakan secara spesifik satu persatu apa saja yang ingin aku sampaikan. Namun kalaupun harus ada perwakilan atas kejadian ini; aku merasa bangga dan haru bisa bertemu denganmu lagi. Saling menularkan hangat dalam dekap. Berbagi riang lewat tatap. Menumbuhkan bahagia dalam hening.
Ya. Aku menemuimu saat ini setelah sekian lama aku berlaga tak memubutuhkanmu dan merasa biasa-biasa saja.
Terimakasih untuk selalu menerimaku kembali, menulis..
Tak perlu lah mengucapkan apa kabar untuk memulai tulisan ini. Cukup sapaan ‘hai’ riang yang aku sajikan. Toh itu lebih kedengaran tulus dari pada ucapan ‘kamu apa kabar?’ yang terkesan formalitas dan basi. Karena aku pribadi lebih sering tak peduli dan kurang empati apabila mendengar jawaban dari ucapan itu. Mending kalo memang jawabannya jujur. Toh, kebanyakan munafik juga. Makanya, stop bikin orang tergiur untuk berbuat dosa yang tidak terasa demi sopan santun.
Ada yang lagi rame sekarang. Di sini. Banyak sekali malah. Dari mulai banner pembuah kotor kota, motor yang makin banyak dan murah, anak kecil yang makin pintar, teknologi yang kian canggih dan sekian banyak kehebohan lain yang dulu tak pernah diprediksi sebelumnya. Selain kemudahan yang didapat, efek yang ditimbulkannya juga tak sedikit; kemunduran moral, matang sebelum waktunya, eksistensi yang penting. Bukan esensi.
Tapi sudahlah, aku tak mau banyak membahas masalah itu. Aku hanya ingin menuangkan saja bebagai ki(e)sah padamu saat ini. Tentangku yang bisa jadi berkaitan juga dengan segala macam yang kusebutkan diatas.
Jika dihitung dengan ukuran waktu, mungkin telah ratusan hari aku kehilanganmu. Bertahun kita seperti terpisah. Jika pun bertemu hanya sebatas basa-basi, atau malah berekspektasi. Tanpa pernah bisa tahu kenapa itu terjadi. Dan memang cenderung tidak berusaha untuk mencari tahu.
Tapi sekarang, aku kembali lagi bersua denganmu. Menjejali telingamu dengan berupa suara.
Akan sangat sulit menceritakan secara spesifik satu persatu apa saja yang ingin aku sampaikan. Namun kalaupun harus ada perwakilan atas kejadian ini; aku merasa bangga dan haru bisa bertemu denganmu lagi. Saling menularkan hangat dalam dekap. Berbagi riang lewat tatap. Menumbuhkan bahagia dalam hening.
Ya. Aku menemuimu saat ini setelah sekian lama aku berlaga tak memubutuhkanmu dan merasa biasa-biasa saja.
Terimakasih untuk selalu menerimaku kembali, menulis..
No comments:
Post a Comment