Bandung, pertengahan januari 2009
Kuku. Lagu. Badminton. Gondok. Jalan kaki.
Kata diatas adalah beberapa kata yang menjadi pikiranku hari ini berdarsarkan urutan waktu. Influence aneh yang teralami. Hanya saja entah bagaimana mengalurkan cerita hari ini. Sebagai tameng, maka dalil yang selalu kugunakan adalah: “don’t think, just write!”
...
Lagu mamapu mengingatkan kita akan sesuatu. Nama, kejadian, tempat. Momen. Meski lagu itu dinyanyikan oleh pengamen, tak ayal pikiranku langsung mengingatkan momen tertentu dari lagu tertentu. Sebodoh apapun lagu itu, penggalan liriknya kukutip juga untuk dijadikan kuis kecil-kecilan untuk seseorang melalui sms:“-…. Penggalan lirik…- tahu judul dari penggalan tersebut?” Begitu kira-kira kuis itu.
Momen. Sebetulnya judul kali ini bisa diwakili dengan kata itu. Semua ‘keyword’ diatas mampu dan layak untuk dirangkul sang momen. Tapi tetap saja, aku hanya terus menulis.
Aku bukan pemerhati dan penyuka lagu fanatic. Apalagi dengan lagu dari band kebanyakan yang lagi sering ditampilkan televisi yang sering aku merasa aku bodoh sendiri *hey, bukankah itu berarti aku memperhatikan?!*.
Lirik yang jauh dari mendidik, irama yang nyaris sama dari band satu dengan yang lain, tema yang selalu itu-itu saja.
Temanku yang musisi marginal pernah berseloroh; “itu karena mayoritas penduduk kita hampeir 80% kurang pendidikan jika tak mau dikatakan bodoh. Maka jangan heran apapun yang disajikan, meski memang obyektif dan demokratis, ga bakal jauh dari cerminan mayoritas. Yang penting pasar, med!”. Sekali lagi, aku biasanya tak peduli. Tapi untuk kasus ini, tak ayal aku mengernyitkah dahi juga. Memikirkan hubungan: obyektifitas dengan pendidikan, dengan demokrasi, dengan pasar, dengan musik.
Lalu diam-diam aku mengiyakan dalam kulum.
Tapi sefrontal apapun, tetap saja, selalu ada sisi kompromis dengan mayoritas.
Membenarkan sesuatu yang dianggap kurang benar sebelumnya. Maka sebutlah itu suatu kebijakan nan kompromis.
Ijinkan aku mengutip lirik dari sebuah lagu;
Baiknya kau melepas diriku
Yang tak pernah bisa mencintaimu
Seharusnya tak kusimpan iba ini
Yang membuatmu terluka
...
Maafkanlah diriku
Yang tak pernah bisa mencintaimu
Maafkanlah diriku
Semoga kau mengerti.
Lagu Naff. Judul aslinya aku tidak tahu. Sangat biasa. Begitu standar. Tema kebanyakan (dan membodohkan versi temanku!). Tapi momen yang dihadirkan oleh lagu itu tak dapat tergantikan oleh apapun. Kejadian sekali seumur hidup. Undeniable!
Jika bisa memilih, inginnya bukan lagu itu yang mengiringi momen tersebut. Bayangannya josh groban atau nat king cole atau norah jones atau malah musik orkestrasi-nya enigma. Tapi...
Ya, andai bisa memilih..
>> memperingati seorang dede hartati. aku tak akan pernah bisa menebus momen itu.
No comments:
Post a Comment