alam bawah sadar memang selalu menawarkan hal yang tak terduga. Mengesankan. Mampu membuat seseorang menjadi apa yang disebut dewasa, berkarakter dan berpendirian. Terlepas dari sudut pandang mana kedewasaan itu dilihat.
Adalah pengalaman yang selalu didengungkan sebagai guru yang paling berharga dan tak tergantikan. Sebagai ilmu absolute yang ditemukan oleh diri sendiri. Melahirkan teori, lalu mencoba melanggengkannya dengan pola pikir dan pola ajar yang (meski lebih diperhalus) memaksa. “ini pengalaman yang bicara. Kamu gak bakal pernah mengalaminya. Makanya menurutku ini yang terbaik yang mesti kamu lakukan” atau “pengalaman yang sudah-sudah aja mengajarkan kita harus begitu dan begini, ko” Dan terjadilah apa yang disebut pembenaran pribadi, dijadikan tolak ukur kebenaran untuk siapa pun. Stereotype buta.
Hari ini aku memasukan beberapa yang teralami (pengalaman?) sebagai perwakilan contoh dari uraian cerita diatas. Tak perlu banyak, karena aku tak mau jika pengalamanku ini malah seperti pemaksaan pembenaran. (?)
Beberapa hari ini, teman-teman seangkatan di pesantren sering membicarakan secara 'dangkal' tentang rencana reunian. Berbagai macam alasan dikemukakan. Memperingati satu dekade sebagai alumni menjadi isu pertama. Kedua menyusul isu karena pertemuan reuni terakhir terjadi ketika tahun 2003. Itu berarti, sudah setengah dekade juga belum ada lagi pertemuan resmi yang bernama reuni.
Sinis-skeptisku muncul. Reuni lantas aku jadikan sebagai nostalgia aneh yang ingin terus menerus selalu diulangi. Membicarakan masa lalu dengan canda dan tak jarang cemooh. Tiap tahun seperti itu. Berulang dan terus. Minoritas yang bisa menganggap kejadian itu adalah ekstase tersendiri yang sarat manfaat. selebihnya merasa sia-sia.
Jauh di dalam hati, aku juga ingin mengadakan acara itu. Tapi kapan dan seperti apa, aku gak mau membayangkannya sekarang ini.
Adalah pengalaman yang selalu didengungkan sebagai guru yang paling berharga dan tak tergantikan. Sebagai ilmu absolute yang ditemukan oleh diri sendiri. Melahirkan teori, lalu mencoba melanggengkannya dengan pola pikir dan pola ajar yang (meski lebih diperhalus) memaksa. “ini pengalaman yang bicara. Kamu gak bakal pernah mengalaminya. Makanya menurutku ini yang terbaik yang mesti kamu lakukan” atau “pengalaman yang sudah-sudah aja mengajarkan kita harus begitu dan begini, ko” Dan terjadilah apa yang disebut pembenaran pribadi, dijadikan tolak ukur kebenaran untuk siapa pun. Stereotype buta.
Hari ini aku memasukan beberapa yang teralami (pengalaman?) sebagai perwakilan contoh dari uraian cerita diatas. Tak perlu banyak, karena aku tak mau jika pengalamanku ini malah seperti pemaksaan pembenaran. (?)
Beberapa hari ini, teman-teman seangkatan di pesantren sering membicarakan secara 'dangkal' tentang rencana reunian. Berbagai macam alasan dikemukakan. Memperingati satu dekade sebagai alumni menjadi isu pertama. Kedua menyusul isu karena pertemuan reuni terakhir terjadi ketika tahun 2003. Itu berarti, sudah setengah dekade juga belum ada lagi pertemuan resmi yang bernama reuni.
Sinis-skeptisku muncul. Reuni lantas aku jadikan sebagai nostalgia aneh yang ingin terus menerus selalu diulangi. Membicarakan masa lalu dengan canda dan tak jarang cemooh. Tiap tahun seperti itu. Berulang dan terus. Minoritas yang bisa menganggap kejadian itu adalah ekstase tersendiri yang sarat manfaat. selebihnya merasa sia-sia.
Jauh di dalam hati, aku juga ingin mengadakan acara itu. Tapi kapan dan seperti apa, aku gak mau membayangkannya sekarang ini.