Awalnya karena diminta masukan untuk desain dinding sebuah toko buku ternama di kota bandung ini. Temanku bilang, aku punya daya imajinasi anak kecil dan harus menggunakan imanijasi itu untuk bisa membantu perkerjaan ini. Maka berapa ikon 'bodoh' mengalir begitu saja.
Rumah dalam sangkar yang pertama disebut. Karena dari kecil, aku sangat menyukai binatang -terutama burung. Aku ingin punya rumah, yang jika keluar dari pintu, sudah disambut oleh banyak sekali burung. Makanya bayangan bikin sangkar segede mungkin, dan ditengahnya adalah rumahku.
Lalu kemudian muncul rumah permen, payung awan, pohon aromanis, kuda terbang, mata bintang, perahu terbang, mesin waktu, mobil septictank, sepatu jet, hujan kelereng, manusia insang, dan banyak lagi.
Ada satu kepuasan tak terhingga. Kepuasan yang bisa jadi karena mengeluarkan ide yang tanpa rasa bersalah. Keputusan yang kalau dilakukan pake kacamata kedewasaan akan selalu dibarengi dengan berbagai macam pertimbangan dan balaga intelektual. Puas dan bahagia.
Seorang bijak bilang, semakin dewasa seseorang, semakin sempitlah dunianya.
Aku membenarkannya, karena aku mengalaminya. Mengalami bagaimana -sekarang ini- sulitnya berimajinasi; jadi profesor, bikin mesin waktu untuk kembali ke masa lalu hanya untuk bisa memborong tamiya yang saat itu terasa amat mahal. Berangan-angan kalo bisa hidup di gorong-gorong karena dianggap mutant dari kura-kura, lalu belajar ilmu ninja. Punya akses khusus ke tempat tertentu, punya sepeda yang bisa sekali kayuh nyampe ke singaparna (aku kecil di tasik kota dan membayangkan singaparna adalah negeri antah). Punya senjata biologis yang membuat orang selalu ketawa.Dulu dengan bangganya menjawab; "ingin menjadi kuda!", ketika guru TK menanyakan cita-cita muridnya dan banyak lagi.
Pulang dari suatu pekerjaan (kuliah/kerja), sekarang ini, bisa jadi dipenuhi dengan berbagai rencana strategis dan menekan. Berbagai analisis dan segala persiapan yang belum pasti tapi seperti udah jadi kepastian selalu membayangi. Entah kemana itu lari-lari seperti kijang, bernyanyi, dan kadang ngomong sendiri sambil memainkan tas sekolah atau pensil sebagai alat atau benda yang sangat imajiner. Kadang berteriak seperti memberi komando, kadang berhenti dengan tatapan seolah didepan ada Gorgom atau Sheider, atau mengaduh dan berteriak tertahan seperti sedang dalam perut Monster Mata Satu.
Realitas, brader. Realitas yang teralami sepertinya yang menumpuk dalam otak kita dan ditampung atas nama memori yang melahirkan trauma. Memunculkan berbagai teori dan diamini. "Jangan ini kalo mau itu." ""arus ini jika begitu." Dan yang lainnya. Takut untuk bermimpi. Lupa akan bebasnya masa kecil. Mengikuti berbagai macam batasan dengan mengatasnamakan keterbatasan yang belum pernah dicoba dengan maksimal. Dan aku tidak memungkiri dengan kenyataan itu karena aku termasuk didalamnya. Adakah yang bisa membantuku untuk bisa sesekali masuk ke dunia masa kecil?
Entah kemana hilangnya spirit untuk melindungi seorang 'hime hikaru hoshi' yang ditularkan Recca. Bermain bola tanpa perlu 10 orang kawan seperti Tsubasa Ozora atau Kubo Yosiharu. Merasa bangga punya topi dari jerami mirip Luffy. Jago tembak dan konyol tapi disenangi cewe seperti Ryo Saeba. Jago basket dan mencetak 4 pont (padahal paling tinggi hanya 3 point) seperti Naruse.
Apa kabar Deni yang sering bercengkrama denganku dalam laut. Para salamender api yang jahat yang akan aku buru bersama Paman Janggut. Berbicara sambil berkendara diatas punggung September. Manjat pohon bareng siti, umar, zaid di Aku Anak Shaleh..
Aku kanger mereka. Kuni, Tiger Wong, Chinmi, Pangeran Matahari, Candy, Voltus, Kamen Rider, Billy the Kid, Lion Man, Unyil&penjahatnya, Buck, Tonto, Voltron, Phoenix Api..
Sungguh, keceriaan dan kepolosanku saat itu masih terasa sampai sekarang. Masih kutunggu perasaan itu datang lagi. Perasaan yang dengan jernih terucap: "AKU INGIN JADI KUDA"
Aku ingin jadi (seperti) anak kecil dalam menghadapi kehidupan.
teach me how to dream
Rumah dalam sangkar yang pertama disebut. Karena dari kecil, aku sangat menyukai binatang -terutama burung. Aku ingin punya rumah, yang jika keluar dari pintu, sudah disambut oleh banyak sekali burung. Makanya bayangan bikin sangkar segede mungkin, dan ditengahnya adalah rumahku.
Lalu kemudian muncul rumah permen, payung awan, pohon aromanis, kuda terbang, mata bintang, perahu terbang, mesin waktu, mobil septictank, sepatu jet, hujan kelereng, manusia insang, dan banyak lagi.
Ada satu kepuasan tak terhingga. Kepuasan yang bisa jadi karena mengeluarkan ide yang tanpa rasa bersalah. Keputusan yang kalau dilakukan pake kacamata kedewasaan akan selalu dibarengi dengan berbagai macam pertimbangan dan balaga intelektual. Puas dan bahagia.
Seorang bijak bilang, semakin dewasa seseorang, semakin sempitlah dunianya.
Aku membenarkannya, karena aku mengalaminya. Mengalami bagaimana -sekarang ini- sulitnya berimajinasi; jadi profesor, bikin mesin waktu untuk kembali ke masa lalu hanya untuk bisa memborong tamiya yang saat itu terasa amat mahal. Berangan-angan kalo bisa hidup di gorong-gorong karena dianggap mutant dari kura-kura, lalu belajar ilmu ninja. Punya akses khusus ke tempat tertentu, punya sepeda yang bisa sekali kayuh nyampe ke singaparna (aku kecil di tasik kota dan membayangkan singaparna adalah negeri antah). Punya senjata biologis yang membuat orang selalu ketawa.Dulu dengan bangganya menjawab; "ingin menjadi kuda!", ketika guru TK menanyakan cita-cita muridnya dan banyak lagi.
Pulang dari suatu pekerjaan (kuliah/kerja), sekarang ini, bisa jadi dipenuhi dengan berbagai rencana strategis dan menekan. Berbagai analisis dan segala persiapan yang belum pasti tapi seperti udah jadi kepastian selalu membayangi. Entah kemana itu lari-lari seperti kijang, bernyanyi, dan kadang ngomong sendiri sambil memainkan tas sekolah atau pensil sebagai alat atau benda yang sangat imajiner. Kadang berteriak seperti memberi komando, kadang berhenti dengan tatapan seolah didepan ada Gorgom atau Sheider, atau mengaduh dan berteriak tertahan seperti sedang dalam perut Monster Mata Satu.
Realitas, brader. Realitas yang teralami sepertinya yang menumpuk dalam otak kita dan ditampung atas nama memori yang melahirkan trauma. Memunculkan berbagai teori dan diamini. "Jangan ini kalo mau itu." ""arus ini jika begitu." Dan yang lainnya. Takut untuk bermimpi. Lupa akan bebasnya masa kecil. Mengikuti berbagai macam batasan dengan mengatasnamakan keterbatasan yang belum pernah dicoba dengan maksimal. Dan aku tidak memungkiri dengan kenyataan itu karena aku termasuk didalamnya. Adakah yang bisa membantuku untuk bisa sesekali masuk ke dunia masa kecil?
Entah kemana hilangnya spirit untuk melindungi seorang 'hime hikaru hoshi' yang ditularkan Recca. Bermain bola tanpa perlu 10 orang kawan seperti Tsubasa Ozora atau Kubo Yosiharu. Merasa bangga punya topi dari jerami mirip Luffy. Jago tembak dan konyol tapi disenangi cewe seperti Ryo Saeba. Jago basket dan mencetak 4 pont (padahal paling tinggi hanya 3 point) seperti Naruse.
Apa kabar Deni yang sering bercengkrama denganku dalam laut. Para salamender api yang jahat yang akan aku buru bersama Paman Janggut. Berbicara sambil berkendara diatas punggung September. Manjat pohon bareng siti, umar, zaid di Aku Anak Shaleh..
Aku kanger mereka. Kuni, Tiger Wong, Chinmi, Pangeran Matahari, Candy, Voltus, Kamen Rider, Billy the Kid, Lion Man, Unyil&penjahatnya, Buck, Tonto, Voltron, Phoenix Api..
Sungguh, keceriaan dan kepolosanku saat itu masih terasa sampai sekarang. Masih kutunggu perasaan itu datang lagi. Perasaan yang dengan jernih terucap: "AKU INGIN JADI KUDA"
Aku ingin jadi (seperti) anak kecil dalam menghadapi kehidupan.
teach me how to dream
No comments:
Post a Comment