Jangan pernah bicarakan sepatu denganku didepan orang tuaku. Aku mohon. Jika itu terjadi, bersiaplah menerima “jutaan jarum rasa bersalah” menghujanimu melalui tatapnnya.
Tidak! Bukan karena orang tuaku akan bilang; ”lebih baik membeli pelindung kepala karena didalamnya ada otak yang mahal daripada membeli pelingdung kaki”. Bukan pula karena orang tuaku tak suka bersepatu. Tapi lebih karena sepatu adalah salah satu barang yang akan mengingatkannya pada rasa kasih yang (seperti) tidak komplit.
Seminggu kemarin aku membeli sepatu baru. Penting bagiku karena ini adalah pertama kalinya aku membeli sepatu dengan uang sendiri. Murni. Tanpa bantuan dari teman atau orang tuanya teman. Tapi dari gajiku dengan segala bangga.
Kebanggaan ini hanya akan aku bagikan kepada kalian saja. (sekali lagi) tidak pada orang tuaku.
Aku tidak mau jika kebanggaan ”hanya” sepasang sepatu ini mesti dihiasi titikan air mata. Jadi, cukup kalian saja.
Sepatuku memang tidak hanya satu. Semuanya ada empat pasang. Dua pasang warna merah (satu converse bahan kanvas, tinggi, pemberian dari boy tahun 2004 sekarang kondisinya lagi enak-enaknya dipake dan satu lagi, vans kulit oldskool, strip warna perak, bahan kulit dari kakang tahun 2006), satu warna hitam (yang ini model bestong/ semi talincang, pemberian dari adik iparku lebaran kemarin), terakhir adalah yang baru ini. Converse warna coklat muda, bahan corduroy dengan lapisan planel didalamnya.
Tiga pasang bertitel mantan; hasil dari kegemasan beberapa teman karena sepatu yang kupakai (sepatu yang menggemaskan itu sekarng entah kemana. Padahal itu juga pemberian dari bink) dan sepasang lagi tunggangan baru.
GOD****. AN****!!!!
Huehhhhhh…..!!! Aku ga kuat nerusin tulisan ini. Banyak rasa yang menggelayuti pikiran dan hati ini.
Sambil memperhatikan sepatu baruku, seketika satu bayangan muncul. Makin lama makin dekat. Gerakan mulutnya pun makin jelas dan bersuara. “Hampura mamah teu tiasa pang meserkeun sapatu-sapatu acan. Terakhir pang meserkeun teh basa aa rek ka DA we harita… eta oge butut-butut acan”.
Menyusul gambaran wajah coklat nan cabi mengkilatku sedang menginjak garut, berlatar cikuray, settingan pertengahan tahun 93, menuntut ilmu memakai sepatu dragon fly baru.
Lalu hanya air mata keentahan yang mengiringiku malam ini.
Sepatu itu rusak karena sering dipakai ke W.C oleh seorang teman berinisial H.Y dua tahun kemudian.
(tulisan ini di posting juga di www.umedism.mutliply.com)
No comments:
Post a Comment