*tulisan pendukung dalam materi presentasi subkultur dalam acara orientasi jurusan sosiologi agama
Ini adalah tema yang cukup sering didengar tapi sangat sedikit diperhatikan. Terutama dalam perbincangan di masyarakat kita. Entah memang karena terlalu malas untuk membahas atau justru terlalu banyak fenomena subkultur di masyarakt kita. Dan tulisan sekarang ini pun tak lebih hanya tepian pantai fenomena tersebut.
Secara harfiah, subkultur terdiri dari dua kata. Sub yang berarti bagian/ sebagian dan kultur kebiasaan dan pembiasaan (aku lebih suka membahasakannya seperti itu daripada dengan menggunakan kata budaya). Tapi secara konseptual, subkultur adalah sebuah gerakan atau kegiatan atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Yang biasanya digunakan sebagai bentuk perlawanan akan kultur mainstream tersebut. Bisa berupa perlawanan akan apa saja; agama, negara, institusi, musik, gaya hidup dan segala yang dianggap mainstream. Secara kasar itu bisa diartikan juga sebagai 'budaya yang menyimpang'.
Kebanyakan kita menganggap dan mengidentikkan subkultur dengan suatu kegiatan yang sifatnya negatif. Geng motor, musik underground, anak jalanan dan perilaku amoral lainnya. Padahal, kalaulah kita tahu dan sadar akan arti dan tujuan kata tersebut dialamatkan, maka kita akan sadar dengan sendirinya bahwa subkultur tidak selalu ditujukan untuk hal yang negatif. Pesantren barangkali salah satu subkultur yang nyata dan jelas juga berkesan positif. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren yang kiai dan sistem pendidikannya tidak mengacu pada sistem pendidikan nasional. Contoh lain selain pesantren adalah klub pemerhati burung yang ada di sekitar jalan geneca bandung. Sesering mungkin anggota kelompok ini memperhatikan burung dengan tujuan untuk melestarikannya juga lebih jauh lagi demi keseimbangan ekosistem.
Selain anggapan kita pada umumnya sering keliru, kita juga sering lupa bahwa subkultur sangat erat kaitannya dengan kita (mahasiswa/remaja). Terbukti dengan sangat seringnya kita merasa ingin jauh dengan budaya orang tua kita (budaya kolot). Ini bisa dilihat dari cara kita berinteraksi dengan teman, gaya berpakaian, musik, yang semuanya itu merepresentasikan sebagai perlawanan terhadap kultur yang dominan dan 'kultur tua'. Tiap daerah, tiap tempat atau pun tiap komunitas hampir bisa dipastikan mempunyai gaya khas yang berbeda dari yang lainnya.
Jika pun ini dihubungkan dengan hidup, maka semakin kita mengerti dan kritis dengan suatu subkultur, maka semakin jelas pula apa yang sedang diperjuangkan. Bahwa bisa jadi ujung perjuangan subkultur adalah melawan kapitalisme. Ada yang pernah tahu tentang pergerakan (subkultur) flower generation yang marak di amerika ketika perang dunia kedua?hippies? Bikers? Semua adalah merupakan sebuah perlawanan.
Sosial politik juga sangat berpengaruh dengan munculnya beberapa subkultur di suatu negara. Mari kita tengok masa sebelum reformasi, dimana kita mendengar kata 'underground' dan 'indie' seperti kita sedang mendengarkan kisah kuno warisan para nabi yang jarang diceritakan. Terkesan agung dan sakral. Seperti penawar haus bagi mereka yang merasa terdampar di area mainstream dan pop. Seorang pelaku begitu serius menggelutinya sebagai ideologi. Punk-hardcore dengan ajaran do it yourself seperti agama.
Paska reformasi adalah masa dimana pembauran bergbagai macam ideologi subkultur bersatu. Subkultur mulai menjadi kultur, indie mewujud mainstream, underground adalah on the ground.
Banyak orang memakai kaos Che asyik ngobrol dengan temannya yang menggunakan aksesoris punk di kantin siap saji bernama Mc.D, penyanyi karbitan dan mellow rambut mohawk, artis sinetron memakai baju distro.
Jarang sekali film indonesia yang mengangkat tema masyarakat asli beserta subkultunya. Yang ada hanyalah demi uang dan popularitas. Mengesampingkan kreativitas dan orisinalitas. Yang kita tonton adalah ‘wajah’ orang lain dengan cerita yang sangat ‘ lain’. Wajar jika akhirnya kita sulit untuk mengenal diri kita sendiri.
Semua karena capital. Semua gara-gara ingin dianggap eksis. Menggelikan!
Ada yang salah dengan bangsa kita dan kita sendiri?
Tak ada yang salah. Sebagai negara post-kolonialis, negara ketiga, terima saja kita sebagai penampungan sampah budaya dari kebudayaan global negara maju. Terima saja kita masih berani merasa keren dan up to date padahal tidak. Konsumtif akan informasi terbaru tanpa bisa membendung dan mengimbangi dengan kekayaan budaya sendiri. Lebih tolol lagi, system yang kita anut samasekali tidak memikirkan bagaimana merumuskan strategi kebudayaan untuk bangsanya. Alih-alih mempopulerkan budaya bangsa, pemangkasan budaya dan penjarahan sesama yang ada. Homo homini lupus.
Oke. Kita lihat kenapa permasalahan ini berujung membicarakan negara. Subkultur sejatinya memiliki dialektika tersediri untuk tumbuh dan berkembang;hidup. Tugas negara (atau institusi) adalah memfasilitasi. Hanya saja, yang menyedihkan disini adalah ruang untuk bisa berkspresi seperti itu seperti tertutup dan dikesampingkan.
Dari dulu hingga sekarang, komunitas subkultur yang mencoba untuk menampung ide dan gagasan baru, berusaha menciptakan raung alternatif (alternative space) sedikit sekali mendapat dukungan dari institusi terkait. Jangan heran dan jangan tersinggung jika kita ternyata adalah pelaku konsumtif yang paling menyedihkan.
Subkultur, independent, underground, bukan hanya untuk musik dan dunia kratif saja. Itu merupakan cara atau metode alternative untuk ditawarkan kepada masyarakat. Subkultur pasti tak akan pernah bisa lepas dari kultur dan bukan tak mungkin akan menjadi kultur. Sebuah siklus kehidupan yang akan selalu ada.
Pertanyaan paling mendasar yang harus kita ulangi dalam tiap hela nafas kita adalah; “buat apa/siap semua ini dilakukan?”
Akhirul kolom, ‘mengkulturkan’ subkultur adalah sebuah langkah awal menuju kebaikan dari pada samasekali terseret kultur tanpa pertanyaan. Bukankah kultur adalah standar kebaikan dan cara hidup? Yang pasti, jauhi kultus!
Sekian
No comments:
Post a Comment