17 December 2007

Bintangabukeseimbangan


Bintangabukeseimbangan

Dalam seminar tentang teater kampus versus teater independen, cenderung pembicaraan menyoroti sepakterjang media (massa) yang seperti memihak kepada teater independen. Kalaupun ada, melulu hanya segelintir teater kampus yang disitir. Dan masih itu-itu saja.

Media seperti dalam posisi terjepit. Dari satu sisi merasa di untungkan dengan adanya media, yang lain sepertinya merasa tak ditoleh sedikitpun.

Aku memperhatikan dengan seksama. Jarang sekali ada seminar seintim dan seakrab ini. Maka seiring berjalannya waktu, tergelitik juga hati ini untuk ikut nimbrung bicara dan mengomentari.

Memang bukan pertanyaan. Tapi lebih ke pernyataan. Karena mau ga mau aku bukanlah insan teater yang mengerti tentang dunia tersebut.

Adalah sebuah keseimbangan yang menjadi dasar pernyataan dari pengamatanku. Keseimbangan akan content dan form yang menurutku harus ada dalam tiap karya. Tak terkecuali teater. Suatu konsep, sebagus dan sebrilian apapun tak akan pernah jadi jika format dan kemasannya kurang bagus. Dalam hal ini, kebanyakan karya yang ada (khususnya yang aku tahu), selalu mengedepankan konsep atau content tanpa dibarengi dengan kemasan yang seimbang. Banyak sekali karya yang dari sisi wacana bagus dan ideal, tapi begitu di eksekusi, tak pernah terasa sedikit pun. Dan fenomena ini sudah begitu kental di negeri ini.

Karya disini samasekali tidak dibatasi hanya untuk dunia seni saja. Dalam karya keseharian pun (cara jalan, cara bicaara, cara menatap, pola pikir, cara berpakaian = eksternalisasi), rumus keseimbangan tidak mengurangi kehormatan kita jika kita memakainya. Yang namanya eksternalisasi pasti bakal dialamatkan kepada publik untuk dinilai secara obyektif (obyektifikasi). Dari sana penilaian itu akan kembali lagi pada kita sebagai pribadi (internalisasi) yang mana kita bisa memilih dan memilah apakah penilaian publik kepada kita itu sesuai atau tidak.

Dalam mengalami dan menjalani eksternalisasi-obyektifikasi-internalisasi tersebut memang tidak bisa divonis hitam-putih. Dari sudut pandang bisa jadi segalanya bisa hitam-putih. Tapi dalam menjalaninya, aku sangsi jika kita (aku) mampu untuk memilih salah satunya secara konsisten. Ada zona abu-abu yang secara tidak sengaja dengan alamiah pasti kita masuki. Dunia yang sangat sulit untuk memutuskan dan mengatakan sesuatu itu hitam atau putih.

Terberkatilah einsten yang telah menciptakan hukum relativitas. Dengannya aku bisa tahu rasa; sejam bersama guru killer dan sejam bersama sahabat sepermainan adalah suatu hal yang berbeda meski sama dalam ukuran waktu. Sangat banyak faktor yang bisa dijadikan alasan. Tapi gara-gara einsten itulah akhirnya aku tahu apa itu relatif. Meski sejujurnya aku belum pernah mempraktekan rumus tersebut pada tempatnya. Atau aku yang tidak sadar walau sudah beberapa kali melakukannya?

Hidup. Tak ada yang mampu merubah suatu keadaan dan kehidupan itu sendiri selain diri itu sendiri. Internal yang menentukan. Kesendirian yang butuh diri-diri yang lain sebagai pembanding dan pengingat.

Hakikatnya memang sendiri. Seperti dalam rahim, seperti dalam kubur, seperti mempertanggungjawabkan amal, seperti bintang, seperti uwa...

Kenapa harus ada bintang dan uwa?, karena dalam hukum dualitas yang selalu berpasangan, hanya dua kata itu yang tak akan pernah punya pasangannya sejauh ini. Kalo ada bulan ada matahari, ada paman ada bibi, ada baik ada buruk....maka untuk uwa dan bintang, sejauh ini belum ditemukan pasangannya.

Akulah uwa itu. Adikku sudah punya anak. Otomatis titel itu langsung disandingkan padaku tanpa pernah bisa tertolak. Dan aku, selalu mengandaikan barangkali pasangan uwa adalah bintang itu sendiri.

Lanturan ini samasekali bukan tanpa alasan. Sengelanturnya orang, pasti punya alasan untuk mempertanggungjawabkan lanturannya itu. Minimal, ia tahu ia sedang ngelantur.

Selamat ngelantur. Selamat menjadi.....

16 December 2007

bayangkan


bisakah kalian bayangkan tidur di alam terbuka di samping api unggun yang mulai meredup.
apa yang ada di pikiran kalian tentang api itu?