14 August 2018

kulari ke pantai



     :sebuah catatan sederhana. 
Nonton film anak besutan riri riza dan mira lesman. Alasan karena pengen tau bioskop baru dan keren di garut. Alasan mumpung liburan. Dan alasan lainnya dari dinginnya saya –si malas keramaian- yang agak kurang menanggapi, sambil mencoba mengajak diskusi ‘bagaimana-jika’ dan bermain imajinasi seolah kami sudah ada di bioskop baru – pertama kalinya – dengan issue segel – juga antrian semrawut – dan tempat duduk yang tak sesuai aturan. Belum lagi alasan kami masih punya anak kecil yang baru dua tahunan yang dimungkinkan bakal kaget dan rewel dan mengganggu dan dihujani pandangan tajam dan ngalahin sound yang ada.
 
Tapi itu semua terbantah. Bukan karena argumen. Tapi karena keukeuh.


 
suasana bioskop teryahud barometer kekerenan kekinian yang baru menclok di kota kecil ini gak usah diceritain. Rudet!

 
Harapan kerudetan untuk bisa tertebus adalah mengingat karya dua kreator ini. Dari mulai petualanga sherina, sokola rimba, surat untuk rena (?), laskar pelangi. Semoga yang ini bisa menyenangkan, enak dan bergizi.

 
Pintu teater 4 telah dibuka. Anggap saja sambil menonton film, saya memperhatikan juga anak yang kecil, dan memperhatikan juga puluhan anak kecil lain yang menonton, tak luput sesekali melirik eskpresi orang tua mereka. Skip aja sampa habis. Eh, btw, pas baca kalimat pertama praragraf ini ikutan dialek si ibu itu ga?

 
Nah, yang bikin gatalnya justru pas bubar. Lagu RAN terus aja nempel, wajah sam selalu aja saya mirip2in dengan entah siapa itu belum nemu. Marsha juga, happy juga, tak ketinggalan danny si bule yang ada di mana aja. Belum lagi akting mencuri perhatiannya si dodit. Asli, gatel. Yang tadinya merasa skip, toh ternyata banyak frame dan skena yang justru membayangi. Meneror bawah sadar.

 
Tentang pantai yang dijadikan judul. Ini sangat indonesia banget. Negara dengan pantai paling banyak. Jangan salah, hampir tiap pantai pasti bonus dengan pendukung alam lainnya. Hutan, sungai, ato minimal perkebunan di sekitarnya. Keren-keren. Daerah yang masih sangat banyak yang layak kita kunjungi untuk melepas sedikit gundah menghadapi pikuk pikir nyata dan maya. Keluar dari sekat kerja dan sudut pandang gawai. Bebaskanlah. Tapi ingat untuk menjaga kelestariannya.

 
Tentang samudra yang unik. Karakter anak kampung(an) bahkan aneh menurut pandangan happy, sepupunya yang kekinian. Sam yang hidup menyatu dengan alam, interaksi nyata dengan banyak orang, berbanding terbalik dengan happy yang apapun harus mengikuti trend media, gak lepas gawai, bicara keminggris. Pesan ini yang saya rasa sangat menohok. Mungkin untuk para orang tua kekinian pada umumnya. Soalnya menyelesaikan masalah anak dengan gawai adalah justru membuat masalah baru yang akan menjadi bom waktu.

 
Saya jadi teringat lirik lagu Arry Juliant yang berjudul Beribu Pada Televisi. Lirik dahsyat yang menampar saya yang hanyut dengan kenangan masa kanak yang sudah mulai hilang saat ini. Kegiatan sosial anak yand dulu begitu kental, sekarang nyaris hilang ditelan gawai. Sekalinya ada pertemuan bersosialisasi tak jauh hanya sebatas kopdar dari ‘masyarakat gawai’ itu sendiri. Anti social social club, lah, sekarang mah.Banyak seloroh yang bilang “jangan lupa piknik” ada benarnya juga. Tapi piknik dengan definisa yang benar. Bahwa apapun kegiatan di luar rumah yang dilakukan seraba kolektif (bersama keluarga), meski itu hanya di pekarangan ato di ruang terbuka di belakang rumah, itulah piknik. Jalan dan makan di sawah ato danau ato gunung ato taman di sekitaran rumah juga piknik. Intinya ada suasana bareng bersama keluarga. Tapi jangan juga niatnya piknik untuk refreshing ke daerah jauh, tapi pulang banyak mengeluh karena uang habis dan badan capek. Alih-alih segar pikiran, yang ada malah stress.
 
Eh, ko jadi ngelantur gini.
 
Udah, kulari ke pantai film keren untuk keluarga. Peran anak-anaknya emang anak-anak banget.Cus, ah.