24 February 2009

berbagi

Kebahagiaan jika dibagi akan bertambah. Kesusahan jika dibagi akan berkurang. Berbagilah sebelum menyesal dan ketinggalan.
Ini sering terjadi dan sering aku lakukan. Efeknya sangat dahsyat dan mencengangkan! Sekali waktu anda mesti mencoba dan merasakan khasiatnya.

menyurati tulis

Hai.

Tak perlu lah mengucapkan apa kabar untuk memulai tulisan ini. Cukup sapaan ‘hai’ riang yang aku sajikan. Toh itu lebih kedengaran tulus dari pada ucapan ‘kamu apa kabar?’ yang terkesan formalitas dan basi. Karena aku pribadi lebih sering tak peduli dan kurang empati apabila mendengar jawaban dari ucapan itu. Mending kalo memang jawabannya jujur. Toh, kebanyakan munafik juga. Makanya, stop bikin orang tergiur untuk berbuat dosa yang tidak terasa demi sopan santun.

Ada yang lagi rame sekarang. Di sini. Banyak sekali malah. Dari mulai banner pembuah kotor kota, motor yang makin banyak dan murah, anak kecil yang makin pintar, teknologi yang kian canggih dan sekian banyak kehebohan lain yang dulu tak pernah diprediksi sebelumnya. Selain kemudahan yang didapat, efek yang ditimbulkannya juga tak sedikit; kemunduran moral, matang sebelum waktunya, eksistensi yang penting. Bukan esensi.

Tapi sudahlah, aku tak mau banyak membahas masalah itu. Aku hanya ingin menuangkan saja bebagai ki(e)sah padamu saat ini. Tentangku yang bisa jadi berkaitan juga dengan segala macam yang kusebutkan diatas.

Jika dihitung dengan ukuran waktu, mungkin telah ratusan hari aku kehilanganmu. Bertahun kita seperti terpisah. Jika pun bertemu hanya sebatas basa-basi, atau malah berekspektasi. Tanpa pernah bisa tahu kenapa itu terjadi. Dan memang cenderung tidak berusaha untuk mencari tahu.

Tapi sekarang, aku kembali lagi bersua denganmu. Menjejali telingamu dengan berupa suara.

Akan sangat sulit menceritakan secara spesifik satu persatu apa saja yang ingin aku sampaikan. Namun kalaupun harus ada perwakilan atas kejadian ini; aku merasa bangga dan haru bisa bertemu denganmu lagi. Saling menularkan hangat dalam dekap. Berbagi riang lewat tatap. Menumbuhkan bahagia dalam hening.

Ya. Aku menemuimu saat ini setelah sekian lama aku berlaga tak memubutuhkanmu dan merasa biasa-biasa saja.

Terimakasih untuk selalu menerimaku kembali, menulis..

tatasosial

salam..

ahem. ini mah hanya sebatas pola baru aja dari komunikasi antara kita. heu.. selain karena penasaran juga karena jarang aja ada balasan yang signifikan dari beberapa surat (aku lebih senang menyebutnya begitu daripada menyebutnya dengan 'e-mail') yang pernah kukirim.

selain alasan diatas, ada beberapa alasan yang kalo itu dibicarakan melalui oral, akan berakhir dengan obrolan selintas aja dan kurang bisa 'dipelajari' lagi setelahnya. atau, bisa juga sebagai penunjukkan sisi karakter lain yang kata sebagian orang bisa dilihat dari gaya cara penulisannya (da karakter di komunikasi oral, kebanyakannya cileupeung wae -baca: aku). jadi, siapa tahu saja kalo lewat tuisan mah bisa lebih efektif dan serius.

jadi mari kita coba aja.

dalam kacamata ‘berbatastipis’, antara banyak ide dan mentok, antara brilian atau tolol, semua seperti sama saja. di satu sisi sepertinya harus dilakukan, disisi lain ngapain juga dilakukan. pemikiran tentang itu selalu melendir dan mengental dalam pikiranku. hingga tak jarang malah membuatku jadi going no where and feel everythingnothing, nothingeverything. stuck, stagnan, statis.. got no gut; psuedofine!

memang, kalo pun harus ada (dan menganggap penting) track record dan portofolio, kebanyakan ‘prestasi’ (sengaja aku pake tanda petik di kata itu karena memang tidak terarsipkan) yang pernah aku jalani adalah berbau sosial. dalam bentuk organisasi [irm, sabar aja, labda, kasih], komunitas [>>retas, if, tuesday ceremony, after school show, peng(k)ajian ayat kauniah], atau pun pribadi [tangankiribodobodo, virusvipe, hhrrkknews]. tak ada yang wah dari sudut pandang kebanyakan. no profit, no famous and no future.. sekali lagi, itu dari kacamata kebanyakan yang sudah terninabobokan oleh pelukan kapital.

sebagian orang bilang, bekal bukan hanya kapital, kontribusi tidak selalu kompensasi. aku mengamininya. merasa yakin dengan apa yang sedang dilakukan dan bersyukur dengan apa yang telah dilakukan.

tapi aku tidak begitu saja yakin, ternyata. rayuan dari luar yang menuntut prestasi (yang ini tanpa kutip karena memang jelas) tidak bisa terelakkan. orang tua, keluarga, teman, dan bahkan sebagian jiwa (yang tak lepas dari peninaboboan) mampu membuatku tisuksuk tidungdung. pushing mind, body and soul becoming a highlander.

tak heran jika akhirnya seperti apa yang dipaparkan diatas. psuedofine. looking fine on unfine. bersembunyi dengan dalih; ingin biasa (yang) luar biasa.

entah ini suatu hal yang penting atau bukan, tepat atau melenceng juga benar atau salah.. tapi aku hanya mau coba 'mempertanyakan' kembali apa yang kemarin kamu 'ajakkan'; tentang acara bakti masyarakat atau proyek sosial. maaf sebelumnya kalo kemarin sempat 'mempertanyakan' hal yang kurang penting dan kacrut. barangkali hanya bentuk ketakjuban yang bermuka skeptik dan sinis. padahal, jauh didalam jiwa, aku seperti menemukan oase. seperti terbangunkan.
maafkan aku yang tertalu rindu dendam dengan hal seperti itu.

………

wah, jadi kamana-mana ieu teh. tapi ga bakalan lebih ngerti kalo ga ada prolog terlebih dahulu. intinya, aku sangat terbuka dengan ide apapun. apalagi yang berhubungan dengan sosial –yang katanya salah satu jalan dari dua jalan yang ada yang dikasih tuhan di bumi ini.

sok, hayu, kamu punya ide apa? barangkali aku bisa bantu dan ‘memperumitnya’. barangkali memang cocok dengan berapa ide yang sempat aku pikirkan. mari, kita saling membicarakan ide yang sangat jarang didekati oleh orang-orang kita.

sakitu heula.

wassalam..

04 February 2009

momen

Bandung, pertengahan januari 2009

Kuku. Lagu. Badminton. Gondok. Jalan kaki.

Kata diatas adalah beberapa kata yang menjadi pikiranku hari ini berdarsarkan urutan waktu. Influence aneh yang teralami. Hanya saja entah bagaimana mengalurkan cerita hari ini. Sebagai tameng, maka dalil yang selalu kugunakan adalah: “don’t think, just write!”

...

Lagu mamapu mengingatkan kita akan sesuatu. Nama, kejadian, tempat. Momen. Meski lagu itu dinyanyikan oleh pengamen, tak ayal pikiranku langsung mengingatkan momen tertentu dari lagu tertentu. Sebodoh apapun lagu itu, penggalan liriknya kukutip juga untuk dijadikan kuis kecil-kecilan untuk seseorang melalui sms:“-…. Penggalan lirik…- tahu judul dari penggalan tersebut?” Begitu kira-kira kuis itu.

Momen. Sebetulnya judul kali ini bisa diwakili dengan kata itu. Semua ‘keyword’ diatas mampu dan layak untuk dirangkul sang momen. Tapi tetap saja, aku hanya terus menulis.

Aku bukan pemerhati dan penyuka lagu fanatic. Apalagi dengan lagu dari band kebanyakan yang lagi sering ditampilkan televisi yang sering aku merasa aku bodoh sendiri *hey, bukankah itu berarti aku memperhatikan?!*.
Lirik yang jauh dari mendidik, irama yang nyaris sama dari band satu dengan yang lain, tema yang selalu itu-itu saja.

Temanku yang musisi marginal pernah berseloroh;
“itu karena mayoritas penduduk kita hampeir 80% kurang pendidikan jika tak mau dikatakan bodoh. Maka jangan heran apapun yang disajikan, meski memang obyektif dan demokratis, ga bakal jauh dari cerminan mayoritas. Yang penting pasar, med!”. Sekali lagi, aku biasanya tak peduli. Tapi untuk kasus ini, tak ayal aku mengernyitkah dahi juga. Memikirkan hubungan: obyektifitas dengan pendidikan, dengan demokrasi, dengan pasar, dengan musik.
Lalu diam-diam aku mengiyakan dalam kulum.

Tapi sefrontal apapun, tetap saja, selalu ada sisi kompromis dengan mayoritas.
Membenarkan sesuatu yang dianggap kurang benar sebelumnya. Maka sebutlah itu suatu kebijakan nan kompromis.

Ijinkan aku mengutip lirik dari sebuah lagu;

Baiknya kau melepas diriku

Yang tak pernah bisa mencintaimu
Seharusnya tak kusimpan iba ini
Yang membuatmu terluka
...
Maafkanlah diriku
Yang tak pernah bisa mencintaimu
Maafkanlah diriku
Semoga kau mengerti.

Lagu Naff. Judul aslinya aku tidak tahu. Sangat biasa. Begitu standar. Tema kebanyakan (dan membodohkan versi temanku!). Tapi momen yang dihadirkan oleh lagu itu tak dapat tergantikan oleh apapun. Kejadian sekali seumur hidup. Undeniable!
Jika bisa memilih, inginnya bukan lagu itu yang mengiringi momen tersebut. Bayangannya josh groban atau nat king cole atau norah jones atau malah musik orkestrasi-nya enigma. Tapi...

Ya, andai bisa memilih..


>> memperingati seorang dede hartati. aku tak akan pernah bisa menebus momen itu.

lanturan jari


Gatal. Jari ini selalu meminta ditekankan pada tuts-tuts papan ketik yang pasrah.
Dengan segala entah, bercecerlah..


Reuni.
Isu reuni angkatan yang udah sepuluh tahun resmi menjadi alumni mewacana.
Kumpulan (reuni) terakhir memang terjadi tahun 2003, dan itu berarti lima tahun yang lalu.
Entah seperti apa jika wacana ini bisa terwujud. Entah seperti apa acara yang akan diselenggarakan, diikuti berapa banyak alumni, seperti apa mereka, suami mereka, istri mereka, anak mereka... entah seperti apa memori masa lalu yang akan diperingati kembali nanti (di masa depan?).
Kebanyakan dari kami memang sudah menikah. Hampir 80%.

Menikah. Pernikahan.
Obrolan tentang hal ini juga jadi pengisi hari ini. Berbagai macam problema, harapan-hiruk-pikuk-semrawut-doa mengental dalam hari dan pikiran. Telak, itu kadang memposisikan aku seperti orang yang berpengalaman tapi tetap bodoh. Seperti orang bodoh yang belagu berpengalaman. Yuck!
Dua orang adik (yang berstatus menikah dan yang belum menikah) bercerita tentang “nikah” mereka. Seorang sahabat, seorang yang berposisi sebagai anak bungsu, seorang yang hanya perempuan satu-satunya, seorang yang hanya anak satu-satunya, seorang yang bingung memilih mana yang sekiranya cocok.
Lucu, unik, aneh dan (tentunya) absurd. Hanya secarik kertas dan cerita religius yang ditemurunkan, mampu menjadikan orang begitu kalang kabut dan kalut. Mampu menjadikan orang begitu terpesona dan bahagia.
Aku mengamininya dan bertepuk tangan kecut dalam dada; aku pun akan mengalaminya.

Hujan.
Lalu, tersadarlah aku badanku sudah sangat basah.
Aku lantas membayangkan ini hanyalah mimpi. Hujan tipis hari ini, dari pagi hari hingga sore, aku anggap sebagai salju yang lembut. Membuat nuansa yang sangat indah tapi juga menggigil. Suci tapi horror. Sedikit ada kehangatan, selebihnya gigil.

Sungguh ‘dangdut’ banget. Baju satu kering dibadan, iya. Cerita paradoks, iya.
Cinta, derita, sungkawa berjoget di hatiku. Di hariku.

Aku jadi rindu pabrik artis dangdut...

Bandung,
februari minggu pertama 2009

Inspirasi hari ini:
The panas dalam-lisa ono-wini-wita-muhdan-tata-faisal-ana-musyawarah burung-mas is-fahmi-allister-lagu india ga tau judul-ewit-ata-teteh-rectoverso-dani-dodi-gun-bedil-ilmi-ezod.

Equilibrium



Sebuah pengantar sentimentil seorang groupies lokal untuk
Under The Big Bright Yellow Sun (UTBBYS)

Keyword:bermain, terjatuh, bangkit, senang, lucu, unik, pahit, seimbang.

Ehmmm..!
Sebutlah ini sebuah kesaksian subyektif dari seorang teman yang merasa terganggu untuk tidak menuangkan musik ini lewat tulisan, jika jauh dikatakan ini adalah (seperti) kuratorial.

Katakanlah ini semacam kekaguman penikmat seni (musik) yang tak pernah mampu bermain musik, apalagi mempunyai grup band, jika enggan mengomentari bahwa ini hanya tulisan ‘tak mau kalah’ untuk tetap eksis di dunia seni (musik) ketika UTBBYS perform.

Penting ga penting, perlu ga perlu, ngefek ga ngefek, itu urusan orang yang punya telinga. Karena meski dengan sumpah separah apapun mengatakan sebuah band/musik itu bagus, belum tentu si empu telinga yang lain mengamininya. Begitu pun dengan UTBBYS ini. Yang menurutku saja sulit untuk mengatakan ini bagus atau tidak. Enak atau rebek. Keren atau rungsing…

Penilaian diatas (yang dijadikan judul), hanyalah kelitanku untuk kurang bisanya mengomentari hasil karya (musik) temannya secara jujur -dan secara sembunyi sekaligus. Terlalu banyak keentahan yang harus kukomentari. Hanya saja, keyword dibawahnya bukan tanpa alasan dituliskan.

Mendengarkan UTBBYS adalah persis seperti gambaran keyword diatas. Ada nuansa bermain, terjatuh, bangkit, senang, lucu, unik, pahit dan bergairah yang terasa. Seimbang.

Galau yang kalut-depresif, tapi kadang menimbulkan sebuah harapan yang men-y-enangkan (maksudnya menyenangkan dan menenangkan) tersodorkan dengan ceria. Petikan dan cabikan gitar yang dihasilkan tak pelak membuat hati begitu waas dan hareneg. Begitu melankolik-nostalgik dan haru. Tapi begitu diiringi oleh tabuhan drum, aku berani mengatakan bahwa ini adalah sebuah sajian yang stabil dan seimbang.


Sungguh, aku samasekali tidak akan pernah berani membahas masalah skill musikalitas dari para personel. Aku hanya mencoba merasakan dan mengungkapkan saja. Dan ungkapan pertama dari apa yang kurasakan adalah sebuah kalimat pendek nan simple; “seperti snorkling di senja hari”.

Barangkali mungkin suatu saat nanti (tanpa tulisanku pun) UTBBYS mampu berbicara dan mendeskripsikan lebih rinci lewat karyanya kepada dunia. Menyebarkan efek “tengah” yang bukan “nanggung”.

Akhirul kolom, selamat menikmati optimisme yang berkelindan pesimis.



Temanmu,
ame aikooka