31 January 2009

berawal dari mata

Mata.
Mata. Berhubungn dengan lihat, buta, hati, pisau, hari, mata, rantai, air, pencaharin, pena dll.

Dll itu; Kompleks, urgen dan vital. Bagaimana tidak, jika salah satu indera kita ini lebih banyak dihubungkan dengan yang “lain” ketimbang indera yang lainnya(lidahidunkulitelinga). Dengan kata lain, disamping dampak baik, sangat dekat dan berbatas tipis dengan dampak buruknya juga. Setipis menyebutkan; melihat pahala dan dosa (chick with skinny leg, maybe?). Setipis buta dengan melihat, melihat dengan terpejam.

Terpejam mengingatkan peureum kadeuleu beunta karasa. Peribahasa nan oldskool,right? Jadi berasa pengen curhat masalah perasaan.halahhh! But, WHATEVER!!

Whatever juga dengan kejujuran (yang katanya) bisa diketahui hanya dengan kita melihat mata seseorang yang kita ajak bicara. Bahkan dalam proses interogasi juga, mata sangat berpengaruh besar. Bukankah interogasi adalah judul drama yang digarap oleh temanteman teater awal?

Awal tulisan ini sebetulnya sama sekali tidak ter-frame-kan dipikiran. Harus seperti apa menuliskannya dan bagaimana kerangkanya. Hayang nulis tentang mata weh…, kajeun nyambung atawa henteu.

Henteuhenteu acan mikir bisa ditulis dan jadi bacaan aheng. Tapi pengen aja…. Makanya, bisa aja this words inspiring you to think about “mata” lebih jauh dan segala yang berhubungan dengan mata itu sendiri.

Sendirian aja mikirnya ga perlu ngajak orang lain. Kecuali pikiran itu layak untuk didiskusikan dihadapan orang banyak.

Banyak sekali orang yang “buta” mengaku melihat, lantas merasa dia yang paling benar dan obyektif. Padahal secara fenomenologi, siapapun bisa jadi benar dan siapapun bisa jadi salah.

Salah sendiri jika mendeskripsikannya sangat minim. Makanya yang dibutuhkan itu bukan ahli debat karena kefanatikan tapi jago argumen dengan pemikiran terbuka dan dingin hati.

Hati siapa yang tak sakit jika mata juga disakiti tanpa alasan dengan ditancapkannya tusuk sate. Bukan karena tusuk satenya, tapi bekas dari mulutnya itu yang jadi masalah; jijik dan perih bekas sambal. Belum lagi si pelaku mempunyai penyakit mulut yang akut. Semriwing gitu,bo! Kalo hanya ditusuk aja sih, anggap aja terapi saraf.

Saraf?! Lu bilang papap saraf, garagara bilang tusuk sate bisa dipake sebagai pengganti cotton bud? Yang saraf tuh maraneh! Udah tau tulisan kayak gini tuh tulisn saraf, masih mau baca dan perhatikan. Ngasih komentar lagi. Parah! Yang lebih parah lagi yang bisa lihat (baca) tulisan ini tapi ga dibca sampai tuntas, tapi ikutan komentar kaya orang yang udah ketalar semua isi tulisnnya. Sebel!

Sebel juga sih, papap nulis kaya gini. Kaya yang ga ada pembahasan lain yang mesti ditulis. Bahas hibernasi kek, global warming kek ato masalah pulitik dan pulisi. Ato –kalo mo masih berhubungan dengan mata- ngebahas keren dan rumitnya retina, selaput, optik, cileuh, kornea dan yang lebih dekat dengan mata. Bukan masalah brehoh kaya begini.

Begini dulu tulisan dari papap, deh. Doakan suatu hari nanti papap bisa nulis tentang retina, selaput, optik, cileluh, kornea sampai ke uraturatnya dengan sangat detil dan jelas. Ginigini juga papap seneng biologi dan ilmu alam. Papap juga pengen bisa nulis tentang gobal warming dan hibernasi.

Hibernasi. Hi bernasi. Hiber nasi. Pasti gratisan dan kenyang. Tak perlu kado dan amplop berisi uang rebuan tiga lembar. Semua bisa didapat dengan harga senyum lebar tanpa dosa dan salaman. Cukup salam.

Salam, heueu….

tulisan ini pernah di muat offline di buletin tangankiribodobodo

No comments: