untuk kader
gantung lelahmu dileher partai
guntung malumu untuk presiden
buntung asamu pada masa depan
gantung lehermu di lelah zaman
untittled
padahal pernah terasa seperti kelam yang panjang
merontokkan setiap lubang dalam tubuh, menyumbat seluruh lubang poripori
pebruari
pebruarimu jatuh diatap hatiku
sebelumnya sempat beradu terik
selintas kenangan samar itu tak jua mengering
merah hitam perih serupa borok
rabaanmu sempat membuatnya nyaman
sebelum meremasnya hingga nanah membuncah
ceritaku; berita derita
beritaku; cerita derita
deritaku; ceritaku
pebruarimu terinjak di kakiku
entah seperti apa langkah bercerita
ulangtahunku
aku masih belum berani menatap
masih banyak yang perlu kumengerti lagi
jauh dari mulia kerjaku
jikakah ku mati saat ini?
aku tak mau mati lagi
aku akan hidup!
benarkah usia sebagai tolak ukur dari kedewasaan,
jika tiap detik hanya diisi dengan celoteh kabur
lalu menyembunyikan kepala di balik ketiak langit
setiap kali melontarkan perkataan?
...dan tiap ceracau adalah sampah
sapaan pagi
apa kabar bidadari. adakah pagi ini kau bangun dengan tersenyum, serta suguhan kasih sebelanga dengan khawatir sebagai cuci mulut?
pernikahan
-menikahlah dengan jiwamu bersama jiwamu-
segala rasa menyatu dalam hati
tanpa tawar menawar,
ritual paling radikal
upacara paling irrasional
kata paling dahsyat
dan terjadi
kelahiran
aku lihat lingkaran ritual terjilat lidah kuta
nyanyian pengusir leak menggema membahana
membelah cadas meniup rahim ibu
kau....
menangis darah menderu ombak
bakal decak seperti kecak
sebab mengabari cecak
kau....
wajahmu pagi mei
sanggup memanah mentari
hingga alam raya mati suri
aku lihat lingkaran ritual menari
nyanyian penghormatan menaburi
karena tahu kau, bidadari
No comments:
Post a Comment